JEJAKREDAKSI.COM — Tekanan publik terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, terus menguat seiring mencuatnya dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait operasi tambang granit ilegal di kawasan hutan lindung. Desakan datang dari berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk aktivis 98 dan pegiat pendidikan Riau, Erwin Sitompul, S.Pd.
Erwin secara tegas meminta Presiden Prabowo Subianto dan aparat penegak hukum Kapolri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan menyelesaikan kasus ini yang dinilai berpotensi merugikan negara dan merusak lingkungan secara sistematis.
"Kami meminta Presiden Prabowo, Kapolri, Kejagung, dan KPK untuk segera bertindak. Jangan ada pembiaran terhadap praktik ilegal yang merusak hutan dan menggerogoti keuangan negara," ujar Erwin saat ditemui di Pekanbaru, Selasa (22/7/2025).
Desakan itu menyusul laporan resmi dari organisasi Pemuda Tri Karya (PETIR) ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada 7 November 2024. Dalam laporan tersebut, PETIR menuduh Gubernur Abdul Wahid terlibat dalam operasi tambang granit ilegal oleh PT Malay Nusantara Sukses (MNS) di Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir, kawasan yang berstatus hutan produksi terbatas dan dilindungi secara hukum.
Yang memperkeruh situasi, nama Abdul Wahid tercatat sebagai Komisaris di PT MNS, perusahaan yang menjadi sorotan utama dalam eksplorasi tambang ilegal tersebut. Keterlibatan aktif kepala daerah dalam entitas bisnis yang menggarap sumber daya alam di wilayahnya sendiri memicu dugaan kuat adanya pelanggaran etik dan hukum.
PETIR menyoroti beberapa dugaan pelanggaran serius oleh PT MNS:
Beroperasi Tanpa Izin Resmi
Perusahaan diduga tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan.
Bukti Kuat Aktivitas Ilegal
PETIR mengklaim memiliki bukti visual berupa citra satelit dan data geoportal KLHK yang menunjukkan secara jelas aktivitas pertambangan di kawasan yang seharusnya dilindungi.
Eksplorasi Skala Besar dan Jangka Panjang
Ketua Umum PETIR, Jackson Sihombing, mengungkapkan bahwa kegiatan eksplorasi ilegal tersebut telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun dan mencakup area seluas 198 hektare.
Potensi Kerugian Negara Miliaran Rupiah
Berdasarkan perhitungan denda administratif sebesar Rp1,6 juta per hektare per tahun, PETIR memperkirakan potensi kerugian negara akibat tidak dibayarkannya denda mencapai sekitar Rp9,5 miliar.
Dokumen resmi dari Administrasi Hukum Umum (AHU) menunjukkan bahwa PT MNS dimiliki oleh lima orang. Selain Abdul Wahid sebagai Komisaris, jajaran manajemen mencakup Haidir (Komisaris Utama), Mansun (Direktur Utama), Masrukin (Direktur), dan Ismail (Direktur).
Sorotan terhadap konflik kepentingan semakin tajam, mengingat posisi Abdul Wahid sebagai kepala daerah yang seharusnya menjadi pengawas, bukan pelaku, dalam pengelolaan sumber daya alam.
Erwin Sitompul menilai bahwa lambannya penanganan kasus ini mencerminkan lemahnya integritas dan transparansi dalam pemerintahan daerah. Ia menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini menjadi ujian awal bagi komitmen Presiden Prabowo dalam pemberantasan korupsi dan perlindungan lingkungan hidup.
"Publik menuntut keadilan. Jangan sampai penegakan hukum tumpul ke atas. Negara harus hadir dalam melindungi hutan dan uang rakyat," tegas Erwin.
Kasus ini kini menjadi sorotan nasional, dan masyarakat Riau menanti langkah konkret dari penegak hukum dalam menyelidiki keterlibatan Gubernur Abdul Wahid serta penindakan terhadap PT MNS. Desakan agar dilakukan penyelidikan menyeluruh dan transparan kian menggema, dengan harapan tidak ada lagi ruang bagi kejahatan lingkungan yang berlindung di balik kekuasaan. (tim/red)
0 Komentar